يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
“Wahai
orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Ayat di atas diawali dengan keimanan
dan diakhiri dengan ketakwaan. Di awal ayat, Allah SWT memerintahkan secara
langsung berpuasa di bulan Ramadhan kepada orang-orang yang beriman dan
mengakhiri ayat ini dengan tujuan dari berpuasa yakni agar menjadi insan yang
bertakwa.
Orang yang beriman akan senantiasa
menjaga diri untuk senantiasa tidak melanggar perintah Allah dan melakukan hal
yang dilarang oleh Allah. Sementara orang yang bertakwa akan menjalankan segala
perintah dan meninggalkan larangan Allah didasari dengan keimanan dari hati
tanpa ada keterpaksaan. Jika kita termasuk orang-orang yang beriman, maka tidak
akan ada rasa keberatan sedikit pun dalam jiwa kita untuk melaksanakan perintah
berpuasa ini dengan keikhlasan. Akan berbeda dengan seseorang yang tidak ada
keimanan dalam dirinya. Pastilah ia akan merasakan berat untuk menjalankan
puasa karena harus menahan diri dari segala yang membatalkan seperti makan dan
minum serta perbuatan lain yang bisa menggugurkan pahala puasa.
Di dalam Al-Qur’an kata iman dan takwa
banyak yang disandingkan untuk mengingatkan kita semua bahwa ada pertalian yang
kuat antara iman dan takwa. Di antaranya yang sering disampaikan dalam wasiat
takwa di setiap kesempatan khutbah jumat,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman!
Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati
kecuali dalam keadaan Muslim.”
Hubungan antara ketakwaan dengan
keimanan harus bersumber dari dalam hati. Jika tidak didasari dari hati, maka
bisa jadi keimanan tidak membawa kapada ketakwaan dan sebaliknya ketakwaan
tidak akan maksimal dan tidak akan menguatkan keimanan. Maka keimanan dan
ketakwaan inilah yang diolah kualitasnya melalui ibadah puasa agar keduanya
bisa tertancap dengan baik pada diri seorang Muslim. Perintah berpuasa
diturunkan pada bulan Sya'ban tahun kedua Hijriah, ketika Nabi Muhammad SAW
mulai membangun pemerintahan yang berwibawa dan mengatur masyarakat baru. Maka
dapat dirasakan, bahwa puasa itu sangat penting artinya dalam membentuk manusia
yang dapat menerima dan melaksanakan tugas-tugas besar dan suci. Oleh karena
itu para ulama banyak memberikan uraian tentang hikmah berpuasa di antaranya
untuk mempertinggi budi pekerti, menimbulkan kesadaran dan kasih sayang
terhadap orang-orang miskin, orang-orang lemah yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan hidupnya, melatih jiwa dan jasmani, menambah kesehatan dan lain
sebagainya.
Allahu A'lam bi Showab

0 Komentar